LATAR BELAKANG
Latar
belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan
Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan
perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Salah satu isi dari
perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui secara de facto Republik
Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan
Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de
facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret
1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali
yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari
pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya
Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai
yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke
Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI,
sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.
Di saat pasukan Belanda sudah
berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di pusat Pemerintahan
Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati,
di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik
Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi
perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika
Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak
membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak
dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan
bersenjata Pada tanggal 18 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah
Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam
penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda
mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi
perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram
terhadap kekalahan pada pertempuran pertama, ternyata pasukan Belanda
juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai
yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah
berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda
berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara.
Puncak Peristiwa
Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa.
Puncak Peristiwa
Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa.